MEDIA POLRI — Polemik penghapusan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) mencuat setelah Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) mengusulkan agar dokumen ini dihapus. Alasannya, SKCK dianggap menjadi beban psikologis sekaligus hambatan nyata bagi mantan narapidana yang ingin memperbaiki hidup dan mendapatkan pekerjaan layak.
Menanggapi isu yang ramai diperbincangkan ini, Polri akhirnya angkat bicara. Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, menyatakan pihaknya terbuka terhadap masukan yang membangun. “Jika memang usulan itu bertujuan memperbaiki pelayanan kepada masyarakat, tentu kami akan menghargai dan mempertimbangkannya,” ujarnya di Gedung Bareskrim, Jakarta Selatan, Senin (24/3/2025).
Namun, ia menegaskan bahwa penerbitan SKCK bukan sekadar formalitas. Berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan Peraturan Kepolisian Nomor 6 Tahun 2023, SKCK menjadi instrumen penting untuk menjaga keamanan. “Ini bukan hanya syarat administrasi, tapi juga catatan penting dalam upaya pengawasan dan pengendalian keamanan,” tegas Trunoyudo.
Di balik meja usulan, Kementerian HAM berpandangan berbeda. Dirjen Instrumen dan Penguatan HAM, Nicholay Aprilindo, menuturkan bahwa banyak mantan narapidana merasa terkunci oleh stigma akibat SKCK. “Mereka merasa sudah dihukum seumur hidup, padahal masa hukuman telah mereka jalani. Pintu kesempatan seakan tertutup rapat,” jelas Nicholay.
Kini, masyarakat pun menyaksikan tarik-ulur antara dua kepentingan besar: menjaga keamanan publik atau menghapus hambatan sosial bagi mantan napi yang ingin kembali ke jalan yang benar. SKCK, yang selama ini jadi simbol rekam jejak, kini berada di persimpangan.
Apakah akan tetap dipertahankan sebagai alat kontrol atau direvisi demi memberi kesempatan kedua? Polemik ini belum usai. Yang jelas, setiap keputusan akan menjadi cermin wajah hukum dan kemanusiaan di Indonesia.@tengkuzunet