Oleh: Tengku Zunet
MEDIA POLRI – Sabtu malam yang biasanya tenang di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, mendadak gempar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat delapan orang, termasuk pejabat dan anggota DPRD setempat. Alih-alih mengurus jalan dan infrastruktur daerah, para pejabat ini justru mengambil “jalan pintas” yang akhirnya berujung di jalan buntu: Gedung KPK.
Kepala Dinas PUPR OKU, NP, bersama tiga anggota DPRD berinisial FY, FH, dan UH, diduga terlibat dalam praktik suap terkait proyek di wilayah tersebut. Seorang kontraktor juga turut diamankan, memperkuat dugaan bahwa uang yang disita dalam OTT adalah “pelicin” proyek infrastruktur.
Seorang saksi mata yang enggan disebutkan namanya mengaku melihat suasana mencekam saat operasi berlangsung. “Biasanya yang dicari warga di akhir pekan itu kopi dan gorengan, tapi tadi malam semua malah cari tahu siapa saja yang kena OTT,” ujarnya.
KPK menyita sejumlah uang tunai yang belum diumumkan jumlahnya. Konon, uang itu bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan bukti nyata bagaimana proyek yang seharusnya membangun daerah justru menjadi ladang bancakan.
“Padahal, jalan-jalan di desa kami masih banyak yang berlubang. Eh, pejabatnya malah asyik dengan proyek yang diduga penuh ‘pelicin’,” keluh seorang warga.
Penangkapan ini mengguncang dinamika politik di OKU. Tiga anggota DPRD yang terjaring OTT kini menjadi sorotan, sementara publik mulai bertanya-tanya: apakah ini hanya puncak gunung es?
KPK masih terus mendalami kasus ini, sementara para pejabat yang diamankan kini menghadapi nasib yang tak lagi bisa dikendalikan dengan amplop tebal. Jika terbukti bersalah, “jalan tol” yang mereka ambil untuk keuntungan pribadi bisa berubah menjadi “jalan terjal” menuju hukuman berat.
Satu hal yang pasti: bagi rakyat OKU, janji pembangunan tak lagi bisa sekadar jadi bahan pidato. Jika uang proyek masih masuk kantong pribadi, maka KPK akan terus datang membawa “jalan buntu” bagi para pencuri uang rakyat.
Pasca operasi tangkap tangan (OTT) yang mengguncang Ogan Komering Ulu (OKU), suasana di kalangan pejabat daerah berubah drastis. Mereka yang biasanya percaya diri melangkah di kantor pemerintahan, kini harus menunggu nasib di ruang pemeriksaan KPK.
Meski KPK belum secara resmi mengungkap jumlah uang yang disita, berbagai spekulasi mulai bermunculan. Beberapa sumber menyebutkan bahwa transaksi ini terkait dengan proyek jalan dan infrastruktur yang seharusnya menjadi prioritas bagi masyarakat.
“Jalan di desa masih penuh lubang, tapi uangnya malah masuk kantong pribadi. Makanya, kalau ada proyek besar, kita selalu curiga, pasti ada yang ‘bermain’,” ujar seorang warga yang kecewa dengan kondisi daerahnya.
KPK sendiri masih mendalami aliran dana dan pihak-pihak lain yang mungkin terlibat. Tak menutup kemungkinan akan ada tersangka baru dalam kasus ini.
Penangkapan tiga anggota DPRD dalam OTT ini menjadi pukulan telak bagi perpolitikan di OKU. Masyarakat kini mempertanyakan kredibilitas wakil rakyat yang mereka pilih.
“Sebelum pemilu, janji mereka luar biasa manis. Begitu terpilih, malah sibuk urus proyek dan kantong sendiri,” ujar seorang tokoh masyarakat yang kecewa.
Dengan adanya kasus ini, partai politik yang menaungi para pejabat tersebut pun ikut terkena dampaknya. Beberapa pengamat politik lokal bahkan memprediksi bahwa skandal ini akan mengguncang konstelasi pemilihan kepala daerah mendatang.
Kini, delapan orang yang diamankan KPK masih menjalani pemeriksaan intensif. Dalam waktu dekat, status hukum mereka akan ditentukan. Jika terbukti bersalah, mereka akan segera ditetapkan sebagai tersangka dan menghadapi proses hukum lebih lanjut.
Publik pun menanti langkah tegas dari KPK. Akankah kasus ini menjadi peringatan bagi pejabat daerah lainnya, atau justru menjadi satu dari sekian banyak skandal yang berlalu begitu saja?
Yang jelas, bagi para pejabat yang tergiur dengan “jalan pintas” menuju kekayaan instan, ada satu hal yang harus mereka ingat: di ujung jalan itu, ada jeruji besi yang menunggu.